Skip to main content

Jiwa Pelayanan Seorang Pimpinan

Sepertinya berbagai cobaan tak kunjung berakhir di negeri ini. Belum juga terhapus dalam ingatan kita, berbagai bencana alam melanda. Kini semakin ditambah dengan berbagai krisis di mana-mana. Baik krisis sandang, pangan, kesehatan, kenyamanan hingga krisis pimpinan.

Ironis, mungkin begitu kalimat yang biasa kita dengar sekarang. Untuk menggambarkan keadaan para pimpinan di negeri ini. Dikala sebagian rakyat semakin membutuhkan dukungan untuk sekedar bertahan hidup, sebagian pimpinan malah mengambil kesempatan untuk melupakan segala hal yang dulu pernah dijanjikan. Janji sebelum menuju puncak kepemimpinan mungkin telah terbiasa dilupakan di negeri yang dahulu telah merdeka ini.

Disadari atau tidak hukum rimba mulai menggantikan hukum nasional kita. Kita telah terbiasa untuk menumbuhkan rasa ingin menguasai, ingin memiliki. Sehingga saat merasa kuat tak ada salahnya kan menindas yang lemah, saat merasa berkuasa sudah wajar kan apabila bisa memenuhi segala keinginan kita. Tak begitu penting bagaimana cara mendapatkan semua keinginan itu. Itu yang telah biasa menghiasai kehidupan kita. Dan jika berbicara masalah menang – kalah, yang “kuat” akan menang.




Bisa dibayangkan bagaimana nasib bangsa ini apabila sifat demikian yang terus dibawa oleh para pimpinan. Begitu indahnya anugerah sebagai pimpinan itu sehingga kita juga lupa untuk apa gelar itu diberikan. Para petinggi negara yang semestinya mengayomi seluruh isi bangsa untuk kemakmuran bersama, saat ini lebih mementingkan kepentingan pribadinya di atas segalanya. Aji mumpung mungkin telah membudaya. Mumpung kaya, mumpung berkuasa, dan mumpung bisa, bangunlah kerajaan sendiri. Dan membangun kerajaan di atas penderitaan orang lain kadang benar-benar terjadi. Lalu masih pantaskah membeli mobil mewah jika garasi rumah telah terpenuhi sampah sisa banjir, masih pantaskah mendebatkan anggaran senilai 21 juta rupiah yang tetap “raib” jika lumpur di Sidoarjo masih juga memakan rumah dan lahan rakyat banyak. Tak terpikirkankah dimana penerus kita akan tinggal jika pulau atau mungkin negeri ini semakin terbenam lumpur-lumpur kerakusan. Ataukah kita akan tetap berjalan dengan roda-roda kesombongan ??

Lebih ironis lagi, sepertinya kekerasan telah membudaya di negeri ini. Tonton saja, stasiun televisi mana yang tidak gemar menayangkan acara-acara kekerasan dengan intensitas yang tinggi. Mulai dari sinetron, film, berita kriminal, hingga kajian rohani sekalipun tak lepas dari tayangan kekerasan.
Kekerasan, dikemas seindah apapun tetap aja kekerasan !

Terbukti bahwa melalui media paling efektif ini, kekerasan menjadi number one di negeri ini. Anak-anak telah terdidik menjadi ahli smack down semenjak dini, dan apa yang terjadi saat penerus negeri ini telah menjadi ahli kekerasan?

Tidak pernahkah terpikir memanfaatkan media super efektif itu untuk menayangkan kajian ilmu-ilmu pengetahuan dengan intensitas yang sama? Walaupun mungkin tidak mendapat iklan.

Hawa kekerasan juga kadang muncul di dunia pendidikan kita. Semenjak pendidikan di tingkat pertama saja, kebiasaan orientasi siswa terkadang tidak lepas dari kekerasan dan ajang kesombongan atasan terhadap bawahan. Ajang yang harusnya bisa mengolah mental seseorang menjadi kuat berubah menjadi media penyimpan dendam untuk junior lain di tahun mendatang. Senioritas – junioritas dalam arti master – slave telah menjadi sesuatu hal yang biasa. Banyak kejadian sia-sia hanya karena masalah atasan-bawahan. Mulai dari “korban” OSPEK, atau MOS yang kadang terjadi hingga kasus IPDN yang kembali terjadi.

Padahal kalau kita mau jujur seorang junior belum tentu lebih “bodoh” dibandingkan senior. Senior belum tentu lebih tidak salah daripada junior. Yang pasti senior ada karena junior. Namun mata kita memang terbutakan, dan menyatakan bahwa yang tinggi tentu lebih hebat daripada yang di bawah ! Pernahkah terpikirkan, pesawat terhebat saat inipun masih membutuhkan roda untuk mendarat. Roda memang tidak dibutuhkan saat terbang, namun pesawat tak akan terbang selamanya kan?
Bukankah saling menghormati akan jauh lebih beradab ketimbang menguasai.

Lalu dengan pola pendidikan mental demikian, bagaimana nasib negeri ini selanjutnya?
Akankah kursi-kursi para pengayom kita berubah menjadi ring tinju, dengan rakyat-rakyat kelaparan menjadi penontonnya??

Mungkin kita memang belum terbiasa menghiasi hidup dengan keserhanaan atau ketulusan (bhakti) dalam segala kewajiban kita, dan lebih terbiasa menuntut dan mengumpulkan hak tanpa memenuhi kewajiban. Bukankah hal ini begitu berbahaya jika menjadi sifat seorang pimpinan.

Mungkin saat ini kita harus lebih mencoba memahami orang lain dan tidak memaksakan diri. Bukankah veda mengajarkan bahwa sesungguhnya pimpinan sejati adalah seorang pelayan? Seorang pelayan, bagaimanapun dia jelas lebih dirindukan, lebih dibutuhkan oleh orang-orang sekelilingnya. Membangun jiwa pelayanan dalam diri mungkin salah satu solusi untuk mempersiapkan diri membangun negeri ini.

Saya jadi teringat sebentuk isi Dharma Wacana di sebuah Pura, yang waktu itu kalah semarak dengan senda gurau kita.

Berhati-hatilah dengan pikiran…
Segala pikiran kita, mempengaruhi ucapan dan tindakan.
Segala tindakan membentuk kebiasaan.
Kebiasaan menjadi karakter dan sifat kita.
Segala karakter dan sifat membentuk keberuntungan
Dan keberuntungan kita menentukan masa depan.
Jadi berhati-hatilah !

Masa depan bangsa ini terbentuk dari pola pikir, ucapan dan tindakan para pemimpin dan generasi penerusnya. Bukankah keinginan berkuasa dari para pemimpinnya telah terbukti menghempaskan dan menghancurkan masa depan berbagai bangsa? Tidakkah kita belajar dari sejarah masa lalu? Seperti pesan seorang Svami Vivekananda jika kita harus mencari jiwa sejati untuk bangsa ini, maka kita harus menyelam dan minum ke dalam sumber air masa lalu yang kita miliki dan melangkah membangun masa depan.

Menjadi pimpinan bukan berarti menguasai segala lini untuk kepuasan diri. Menjadi pimpinan hakekatnya adalah pembimbing sekaligus pelayan dan tumpuan bagi para pengikut untuk bersama menjaga dan mengembangkan peradaban.

Semoga keindahan dan kecerdasan ilmu pengetahuan, menuntun masa depan para pemimpin, bangsa dan kita bersama.

Comments

Popular posts from this blog

Dear bibeh...

Dear bibeh, Mungkin aneh ya, menulis surat beginian di weblog. Tapi itu lebih asik daripada mengirimkannya lewat sms. Dikau tau kan sms itu aslinya untuk apa? sejarahnya dulu SMS itu kependekan dari short message service atawa layanan pesan pendek. Teknologi untuk bertukar pesan singkat, tapi sekarang orang2 pada ga paham maksud munculnya teknologi sms, taunya kirim pesan, perkara pendek lah panjang lah yang penting pesan.. itulah kenapa aku (sebelumnya) ga pernah jarang nulis pesan panjang di sms. Nyalahi sejarah. Hadeeh malah nyasar ne.. Beibs.. masih ingat banget kan? Pas jam segini, pas dua tahun lalu. Pas sebelumnya aku terbangun dengan perasaan campur aduk seperti sop buah. Hmmm.. yah mau kutulis apalagi ya karena memang demikian. Campur aduk itu mungkin lebih tepatnya karena pagi itu begitu grogi. Yah, bagaimana tidak grogi. Jam 10 tepat nanti aku harus berucap janji di hadapan alam raya dan segala isinya untuk setia padamu. It's about love and you Hmmm.. hehehe..

Aku, Bapak dan Nyepi

Tahun ini Nyepi pertama tanpa hadirnya sosok bapak. Sosok yang selalu mengingatkanku akan keberanian, kecepatan dan kesempurnaan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab. Aku mungkin satu-satunya anak di bumi yang tak pernah sekalipun merasakan amarah seorang ayah. Bukan karena aku baik, bukan karena aku penurut. Masa kecilku hingga saat ini tak pernah berubah. Aku ini pemberontak, pembangkang, pemalas, lamban, suka menentang, dan parahnya aku menikmati itu semua. Mungkin karena itu, bapak dahulu lebih suka menasehatiku dengan perilaku. Saat aku tak bisa bangun pagi, bapak sudah duduk di teras, membaca kedaulatan rakyat, ditemani segelas teh panas dan beberapa potong ubi rebus. Kadangkala bapak sengaja memanggilku keras, "Yud.. sekolahmu masuk koran nih.. eh.. nanti sore PSS tanding yaa.. ?!" Anaknya yang tak tau malu ini biasanya langsung meloncat, cuci muka sekedarnya dan langsung ikutan menyikat koran dan ubi rebus yang tinggal satu.

Taman Lampion di Monjali

Akhirnya, setelah beberapa kali hanya sekedar lewat, kemaren sabtu di malam hari (baca: malam minggu) bisa menyempatkan diri juga ke tempat wisata unik. Jogja memang ngetop kalau masalah unik. Apa saja bisa jadi tempat wisata. Dan selalu saja ada ide kreatif untuk membangun tempat menjadi lahan wisata. Kali ini target tujuan kami adalah Monumen Jogja Kembali. Ke Monjali? Di Malam Hari? yang bener saja...? Iya, bener.. ini buktinya.. :) Monumen Jogja Kembali (di Jogja dipanggil Monjali) memang biasanya tidak dibuka sampai malam. Kalau kenapanya, ya mungkin anda harus menonton Night at The Museum dulu.. hehe..