Skip to main content

Melangkah dan Mengalir dalam Perjalanan Waktu

Hidup adalah perjalanan. Demikian salah satu intisari Bhagavadgita yang tanpa kita sadari telah menjadi sesuatu yang terlupakan. Laksana butiran air, di manapun pada awalnya, yang selalu mengalir atau mencari jalan untuk melanjutkan langkah dan pada akhirnya sampai ke samudera, seperti itu pulalah seharusnya kita memaknai perjalanan hidup ini.

Saya tak pernah ragu dan selalu teringat kalimat dari seorang guru, bahwa hinduisme berasal dari kata indus, sebuah dataran di negeri India. Indus bisa berarti air. Ya air, bentuk sederhana namun penuh misteri. Sesuatu yang kadang tak kita acuhkan namun syarat dengan makna kehidupan. Menjadilah “air” dan kita bisa menghadapi kehidupan seperti apapun. Menjadilah “air” dan kita dapat bergaul atau memahami siapapun.

Bukankah sebagian besar tubuh kita terbentuk dan terisi atas unsur air, sehingga semestinya sifat airlah yang paling dominan dalam diri kita. Pahamilah air, dan kita akan menemukan makna perjalanan hidup ini. Begitu menarik mengamati dan ikut merasakan perjalanan air. Seperti layaknya kita, air mencoba menemukan esensi diri sebelum pada masanya bersatu lagi di samudera dan atau kembali lagi dalam perjalanan baru. Siklus air identik dengan siklus kehidupan.




Bayangkan saja setetes embun yang jatuh ke tanah, terserap dan suatu ketika diserap kembali oleh tanaman atau langsung menguap ke angkasa. Atau dari hijaunya hutan, padang rumput, danau, bahkan gurun pasir sekalipun. Dengan berbagai cara dan kemungkinan air akan menguap ke angkasa, membentuk awan dan suatu ketika jatuh sebagai hujan, kembali ke tanah untuk memulai kembali perjalanan identik namun tak pernah sama.

Air melakukan perjalanan panjang mengikuti sungai, celah tanah, terbawa benda atau makhluk lain. Air Mendapatkan berbagai pengalaman dalam masa perjalanannya, mulai dari sungai yang bening atau keruhnya banjir. Indahnya danau atau pekatnya lumpur. Kadangkala bercampur dengan wangi bunga atau tumpukan sampah sekalipun, semua itu adalah pengalaman berharga bagi air. Hingga pada akhirnya perjalanan berhenti di samudera raya.

Benarkah siklus itu berhenti ?
Tidak, seperti siklus hidup kita, air bisa saja kembali menguap ke angkasa dan memulai lagi perjalanan panjangnya.

Pernahkah kita mencoba memahami perjalanan hidup kita selayaknya perjalanan air. Demikian jelasnya, demikian dekatnya dengan kita sehingga kita tak pernah melihat bukan? Apalagi memahami.

Kadangkala kita bagaikan air yang lebih suka pamer gelas penampung kita, mendebatkan dan mencari bukti-bukti kuat akan keindahan gelas yang sesungguhnya rapuh. Kita seperti air yang terjebak dalam kaleng softdrink atau botol anggur termahal dan saling menertawakan satu dengan yang lain. Padahal kita belum pernah mengalir, padahal kita belum memulai perjalanan dengan benar !

Keegoan kita dari waktu ke waktu telah mengaburkan makna sebuah perjalanan. Kita lebih teringat dengan apa kita akan berjalan dan melupakan tujuan utama dari perjalanan. Kita lebih gemar mendebatkan kehebatan kendaraan kita masing-masing tanpa mengetahui untuk apa kendaraan itu ada. Waktu kita semakin terbuang dengan keinginan memalukan, keinginan untuk berkuasa, menyalahkan orang lain, memperbudak atau mengemas indah berbagai bentuk hawa nafsu, membela tuhannya masing-masing, keinginan menyucikan atau disucikan orang lain atau apalah namanya.

Ya, kita lebih suka melancong, shoping, saling menyombongkan diri serta bertukar iri dengki dalam perjalanan dan melupakan untuk apa sebenarnya perjalanan ini.

Kita lupa bahwa seperti halnya air, kita harus berjalan, mencari dan mengalir hingga pada akhirnya sampai ke samudera raya. Kita lupa bahwa kita ini sama. Mau dibilang apa, bukankah sekotor-kotornya air adalah tetap air. Sebening-beningnya air juga tetap air.

Lalu kenapa kita masih bangga menyebut bahwa kita adalah anggur termahal di dunia, sementara kita hanya terkurung dalam botol atau ruang bawah tanah dan tak bisa mengalir. Apa hebatnya bisa jadi termahal ? Kenapa kita bangga bahwa kita hidup dalam sebuah gelas kristal sementara kita hanya bisa menodai benda-benda yang kita sentuh dengan aroma memabukkan. Atau lebih buruk lagi kita adalah lumpur yang mencoba membersihkan lumpur lain. Tapi mungkin saya termasuk yang ini.

Tak pernahkah kita mencoba menjadi air sungai yang mengalir selaras dengan belaian alam, menyusuri jalur-jalur sungai yang penuh dengan tanaman-tanaman alami. Sehingga setiap waktu kita bisa menikmati sesuatu yang beragam, setiap saat bisa berintekasi dengan siapapun termasuk mungkin bertanya pada rumput yang bergoyang.

Tak tahukah kita bahkan sebuah ice cream saja mungkin berusaha untuk mencapai jalur itu. Begitu bahagianya sebuah ice cream yang bisa menyenangkan manusia pemangsanya, menjadi bagian tubuhnya, berubah menjadi keringat, menguap ke angkasa, menjadi hujan dan berdoa semoga dia bisa jatuh di sungai indah itu. Pernahkah kita berharap selayaknya ice cream. Coba dan rasakanlah !

Mungkinkah? Tentu saja, bukankah ice cream juga air. Air adalah “makhluk” bebas dengan komitmen tinggi. Air tak akan mengingkari janjinya untuk menuju samudera bagaimanapun caranya. Hinduisme mengajarkan kita kebebasan dengan komitmen tinggi, masihkah kita akan mengingkari janji untuk melanjutkan perjalanan kepada zat tertinggi yang di negeri ini kita sebut sebagai Hyang Widhi.

Mokshartam Jagadhita ya ca iti Dharma

Kebahagiaan tertinggi dan kebahagiaan dunia adalah inti dari segala dharma. Sudahkah kita mendapatkan semua itu, atau kita hanya terobsesi ? Bukankah semua langkah perjalanan yang terpapar di atas berakar pada tujuan ini ? Begitu bahagianya sang “air” melakukan perjalanan dalam rangkaian sungai, dan menikmati kebahagiaan tertinggi sampai di samudera.

Lalu bagaimana dengan kita ? Jika bahagia di dunia saja belun tentu, bagaimana mungkin kebahagiaan abadi kita raih ? Layaknya menaiki sebuah eskalator atau lift. Jika lantai 2 saja kita belum sampai, bagaimana mungkin kita sampai puncak gedung ?

Berbicara memang mudah, namun prakteknya belum tentu. Saya juga sadar semua itu, tapi yakinlah menulis juga tidak terlalu mudah.

Sudahlah, jadi sebenarnya apa yang harus dilakukan agar mendapatkan kebahagiaan ?

Pertama, kita terlalu banyak menentukan syarat untuk rasa bahagia itu. Yakinlah, seorang kaya belum tentu sebahagia manusia yang biasa-biasa saja. Bukankah bisa mendapatkan atau mewujudkan berbagai keinginan belum bisa menjadi ukuran kebahagiaan? Saat kita diterima masuk ke sebuah institusi/instansi untuk belajar atau bekerja, mungkin sesaat kita merasa "bahagia" dan tidak lupa beribu-ribu terimakasih kita tujukan pada-Nya, kalau perlu syukuran 2 hari 3 malam. Namun dalam kilatan waktu, kita segera terbebani dengan tugas-tugas yang memberatkan, PR yang menyedihkan, teman-teman yang membosankan dan tak lupa pula segera muncul keluhan dan ratapan kepada-Nya. Tenang saja, kadang saya juga demikian.

Tak pernahkah mencoba menghadapi perjalanan ini dengan cara menikmatinya? Air begitu menikmati segala langkah menuju samudera, dia selalu menikmati jadi apa dia sekarang. Tak peduli harus mengalir melewati timbunan sampah, melewati jalur limbah pabrik, bahkan saat terdampar sebagai sebentuk oase yang entah kapan bisa mengalir. Dia tetap saja tulus. Nikmatilah swadharma kita, dan berbahagialah !

Kedua, kebanyakan dari masalah kita muncul ketika kita "berkelahi" dengan alam. Kita terbiasa memperbudak alam dengan keinginan kita. Secara fisik dapat kita lihat kerusakan lingkungan karena penebangan liar, penumpukan sampah, atau penyebaran limbah. Sebagai air, kita sudah jarang sekali menemukan semak atau bunga indah di tepi sungai. Jangankan menemukan bunga, menemukan sungai sebagai jalur perjalanan kita saja sudah susah. Kita tak lagi tahu, apakah ini sungai atau bekas jalan-jalan raya kota. Bagaimana mungkin kita bisa menemukan samudera ? Berdoa, berharap dan mengalir saja.

Pernahkan kita merasa gelombang kedengkian kita jauh lebih tinggi ketimbang gelombang ketulusan dan rasa kasih. Tak percayakah anda bahwa gelombang frekuensi pikiran kita juga laksana air ? Bagaimanakah cara yang tepat untuk membuat air keruh dalam gelas menjadi jernih kembali. Ini bukan iklan air minum yang sering anda lihat di televisi, namun ini adalah inti ajaran Veda (baca: pengetahuan). Kita kalah ngetop duluan !

Cara yang bijaksana untuk membuat air keruh dalam gelas menjadi bening dan jernih kembali bukan dengan membuangnya dan mengisi kembali dengan air bersih. Jika itu anda lakukan pada pikiran anda biayanya jadi sangat mahal ! Anda tak mungkin membuang pikiran anda dan menginstall pikiran baru bukan ?

Jadi ? Kita tidak harus menginstall ulang pikiran kita, update saja !.

Tuangkanlah pelan-pelan air yang bersih pada gelas berisi air keruh, terus, terus dan terus menerus. Jangan tergesa kalau perlu buatlah irama…. Bersabarlah karena orang sabar disayang banyak orang dan pada saatnya nanti, kotoran akan terbuang dan air yang keruh berganti dengan air jernih.

Om anno badrah kratavo yantu visvatah
(Yang Maha Indah, semoga segala pikiran baik datang dari segala arah)

Adalah harapan dan doa indah yang selalu diucapkan saat kita membuka segala pustaka suci. Apakah anda melihat perbedaannya dengan konsep pembersihan air ?

Untuk membersihkan pikiran kotor kita adalah dengan menerima dan mengirimkan kembali pikiran yang baik ke segala arah. Kepada apapun, siapaun, kapanpun dan di manapun. Yakinlah langkah perbaikan moral dengan jalan ini akan jauh lebih bijaksana daripada menghancurkan rumah atau kantor orang lain yang mungkin dana pembangunannya belum lunas.

Bayangkan dalam sepanjang perjalanan hidup kita, kita luangkan barang satu detik saja, secara bersama-sama. Seluruh isi semesta ini mengirimkan dan menerima pikiran-pikiran berisi kebaikan, dan cinta kasih. Berapa rasa iri dengki bisa kita hapus, berapa dosa bisa kita tutup, dan berapa sahabat bisa kita tambahkan dalam rangkaian friendster kita.

Dalam jiwa yang bersih dan hening
segala derita, sengsara jadi sirna
Pikiran orang yg berjiwa bersih demikian
bersemayam teguh dalam ketenangan
(Bhagavadgita II.65)


Jika kita masih mengakui bahwa kita adalah alam semesta mini (mikrokosmos) yang tak bisa lepas dengan alam semesta raya (makrokosmos), langkah terbaik untuk melanjutkan perjalanan dalam dharma adalah menjadi selaras dengan alam. Pahamilah alam, dan alam akan memahami kita.

Seorang guru meninggalkan doa ini untukku.
Tuhan, Semoga segala pikiran yang baik datang dari segala penjuru, semoga tiada aral dalam segala langkahku, dan semoga segala arah menjadi sahabatku.

Kita tak pernah tahu masih sejauh mana samudera yang menjadi pelabuhan kita, jadi berjalan, sebarkan ketulusan dan kasih sayang, mengalir dan nikmatilah !


** Beberapa bagian tulisan disadur dari buku the life secret of water (:masaru emoto)

Comments

Popular posts from this blog

Dear bibeh...

Dear bibeh, Mungkin aneh ya, menulis surat beginian di weblog. Tapi itu lebih asik daripada mengirimkannya lewat sms. Dikau tau kan sms itu aslinya untuk apa? sejarahnya dulu SMS itu kependekan dari short message service atawa layanan pesan pendek. Teknologi untuk bertukar pesan singkat, tapi sekarang orang2 pada ga paham maksud munculnya teknologi sms, taunya kirim pesan, perkara pendek lah panjang lah yang penting pesan.. itulah kenapa aku (sebelumnya) ga pernah jarang nulis pesan panjang di sms. Nyalahi sejarah. Hadeeh malah nyasar ne.. Beibs.. masih ingat banget kan? Pas jam segini, pas dua tahun lalu. Pas sebelumnya aku terbangun dengan perasaan campur aduk seperti sop buah. Hmmm.. yah mau kutulis apalagi ya karena memang demikian. Campur aduk itu mungkin lebih tepatnya karena pagi itu begitu grogi. Yah, bagaimana tidak grogi. Jam 10 tepat nanti aku harus berucap janji di hadapan alam raya dan segala isinya untuk setia padamu. It's about love and you Hmmm.. hehehe..

Aku, Bapak dan Nyepi

Tahun ini Nyepi pertama tanpa hadirnya sosok bapak. Sosok yang selalu mengingatkanku akan keberanian, kecepatan dan kesempurnaan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab. Aku mungkin satu-satunya anak di bumi yang tak pernah sekalipun merasakan amarah seorang ayah. Bukan karena aku baik, bukan karena aku penurut. Masa kecilku hingga saat ini tak pernah berubah. Aku ini pemberontak, pembangkang, pemalas, lamban, suka menentang, dan parahnya aku menikmati itu semua. Mungkin karena itu, bapak dahulu lebih suka menasehatiku dengan perilaku. Saat aku tak bisa bangun pagi, bapak sudah duduk di teras, membaca kedaulatan rakyat, ditemani segelas teh panas dan beberapa potong ubi rebus. Kadangkala bapak sengaja memanggilku keras, "Yud.. sekolahmu masuk koran nih.. eh.. nanti sore PSS tanding yaa.. ?!" Anaknya yang tak tau malu ini biasanya langsung meloncat, cuci muka sekedarnya dan langsung ikutan menyikat koran dan ubi rebus yang tinggal satu.

Taman Lampion di Monjali

Akhirnya, setelah beberapa kali hanya sekedar lewat, kemaren sabtu di malam hari (baca: malam minggu) bisa menyempatkan diri juga ke tempat wisata unik. Jogja memang ngetop kalau masalah unik. Apa saja bisa jadi tempat wisata. Dan selalu saja ada ide kreatif untuk membangun tempat menjadi lahan wisata. Kali ini target tujuan kami adalah Monumen Jogja Kembali. Ke Monjali? Di Malam Hari? yang bener saja...? Iya, bener.. ini buktinya.. :) Monumen Jogja Kembali (di Jogja dipanggil Monjali) memang biasanya tidak dibuka sampai malam. Kalau kenapanya, ya mungkin anda harus menonton Night at The Museum dulu.. hehe..